Bismillah, Alhamdulillah, Washalatu Wa salamu’ala asyrafil mursalin Wa’ala alihi washohbihi ajma’in ama ba’du.
Meluruskan kekeliruan imam merupakan kewajiban umat Islam yang berilmu. Kekeliruan imam dalam sholat tidak hanya berakibat buruk kepada dirinya saja, tetapi akan mewariskan kesesatan kepada umat. Oleh karena itu wajib bagi kita semua, apabila kita keliru hendaknya bersenang hati untuk kembali kepada yang kebenaran setelah mengetahui dalilnya. Tidak boleh malu di hadapan manusia hanya karena takut disalahkan atau gengsi karena kehilangan wibawa. Malu dihadapan Allah lebih utama daripada malu di hadapan manusia. Semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang haq dan memudahkan kita untuk menerima dan mengamalkannya. Dan memperlihatkan kepada kita yang batil dan memudahkan kita untuk menjauhinya.
Sholat merupakan ibadah yang paling pokok setelah seseorang berikrar mengucapkan dua syahadat. Sholat adalah ibadah yang tidak bisa dikurangi atau ditambah, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi contoh langsung kepada sahabatnya. Para sahabat telah melihat sholat beliau setiap hari, dari takbir hingga salam. Bahkan beliau menyuruh umatnya agar mengikuti sholatnya tanpa menambah atau mengurangi.
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sahabatnya, yang juga untuk semua umatnya :
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”. (HR Bukhori: Kitabul Adzan) Berpijak dengan hadits di atas, maka kita selaku imam wajib mempelajari tuntunan sholat sesuai dengan sunnah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beberapa Kekeliruan Imam
1. Berpakaian sangat tipis sehingga nampak auratnya.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ketika ditanya bagaimana hukumnya seseorang yang sholat dengan memakai baju luar sangat tipis berwarna putih, tidak memakai kain dalam, melainkan celana pendek yang menutupi sebagian paha saja, sedangkan kulit badannya terlihat. Beliau menjawab: “Jika orang itu memakai celana pendek tidak menutupi perut sampai lututnya, sedangkan baju luarnya tipis sekali, orang itu pada hakikatnya belum menutupi aurot, karena istilah menutupi aurot hendaknya menutupi badan sehingga, tidak kelihatan kulitnya”.
Allah berfirman,
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS Al-A’rof: 31).
Rosululloh ketika melihat sahabat Jabir bin Abdulloh datang kepadanya malam hari lalu dia sholat malam bersamanya, sedangkan waktu itu dia hanya menyelimutkan pakaian yang sangat sempit sehingga membentuk semua tubuhnya beliau menasihatinya : “Jika pakaian itu sempit, jadikanlah sarung (ikatkan kainmu mulai di atas perut sampai ke bawah), jika kainmu luas sekali, maka selimutkan ke seluruh anggota badanmu”. (HR. Bukhari: Kitabus Sholat)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata: “Ulama’ telah sepakat, bahwa orang yang sholat sedangkan kulitnya kelihatan (karena pakaiannya yang sangat tipis) padahal ia mampu menutupi aurotnya dengan pakaian tebal, maka sholatnya tidak sah.” (Lihat Fatawa Manorul Islam 11150)
Imam Syafi’i berkata: “Jika orang sholat memakai baju tipis sehingga kelihatan kulimya, maka tidak sah sholatnya”. (Kitab Al-Umm 1/78)
2. Mengenakan pakaian luar yang sangat sempit
Imam hendaknya mengenakan pakaian yang lapang dan luas, tidak boleh sempit bagian Iuarnya, karena akan mengganggu ketenangan dan kekhusyu’an sholat, bahkan akan membatalkan sholat apabila dia memakai kaos dan celana sempit, sehingga apabila ruku’ dan sujud kelihatan sebagian kulit punggungnya. Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan berkata: “Barangsiapa sholat memakai celana sempit (press body), sedangkan dia memakai kemeja pendek, pada waktu ruku’ dan sujud tertarik kemejanya sehingga kelihatan sebagian punggungnya yang seharusnya tertutup, maka batal sholatnya. Ini adalah dampak buruk dan memakai pakaian yang diimpor dari orang barat”. (Al-Qoul Mubin Fii Akhthoil Mushollin 28)
3. Mengenakan pakaian bergambar
Hendaknya pakaian imam bersih dari gambar dan lukisan, agar tidak mengganggu ketenangan orang yang sedang sholat. Dalilnya: Dari Aisyah dia berkata: Rosululloh memakai khomishah (baju yang berjahit dengan benang sutra atau
bulu binatang) miliknya. Baju itu banyak lukisan dan gambarnya. Lalu bellau melihat lukisan-lukisannya. Tatkala selesai sholat, beliau berkata: “Pergilah dengan membawa baju ini, serahkan kepada Abi Jahm, katakan bahwa baju ini tadi mengganggu sholatku, dan bawalah kemari baju tebal (yang tidak berlukisan dan bergambar) milik Abi Jahm bin Khudzaifah“. (HR. Bukhori: Kitabul Libas)
bulu binatang) miliknya. Baju itu banyak lukisan dan gambarnya. Lalu bellau melihat lukisan-lukisannya. Tatkala selesai sholat, beliau berkata: “Pergilah dengan membawa baju ini, serahkan kepada Abi Jahm, katakan bahwa baju ini tadi mengganggu sholatku, dan bawalah kemari baju tebal (yang tidak berlukisan dan bergambar) milik Abi Jahm bin Khudzaifah“. (HR. Bukhori: Kitabul Libas)
Dari Anas ia berkata: ‘Aisyah mempunyai tabir (yang tipis berwarna lagi penuh dengan lukisan) dibuat untuk tabir kamar rumahnya. Nabi menyuruh ‘Aisyah: “Jauhkanlah tabir ini, sebab gambar dan lukisannya senantiasa mengganggu sholatku”. (HR. Bukhari: Kitabul Libas)
4. Isbal (menutup mata kaki)
Imam tidak boleh mengenakan pakaian yang terlalu panjang hingga menutupi mata kaki. Maka hendaknya dia mengenakannya di atas mata kaki atau ditengah betisnya.
Dalilnya: Dari Abu Huroiroh ia berkata: Tatkala ada seorang laki-laki sholat mengenakan sarung yang menutupi mata kakinya, Nabi menyuruh dia pergi agar berwudlu. Orang itu pergi untuk berwudlu lalu datang, beliau menyuruhnva pergi lagi, ada seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rosululloh mengapa engkau perintah dia berwudlu lagi?”. Bellau berpaling, lalu beliau berkata: “Orang itu shalat tetapi sarungnya menutupi mata kakinya. Sesungguhnya Allah tidak menerima sholat seorang laki-laki yang musbil (orang yang melakukan isbal – memakai sarung atau celana yang menutupi mata kakinya)”. (HR. Abu Dawud Kitabul Libas, Imam Ahmad, Imam Nasai.
Imam Nawawi berkata: “Sanadnya shohih menurut kriteria Imam Muslim”) Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bias Hasan menukil fatwa dari Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan hadits di atas: “Maksud hadits ini -wallahu a’lam bishshowab- bahwa menutupkan sarung sampai mata kaki termasuk perbuatan maksiat, setiap orang yang melakukan kemaksiatan diperintah agar berwudlu dan sholat, karena wudlu itu bisa membakar kemaksiatan”. (Al-Qoul Mubin Fii Akhthoil Mushollin hal. 37)
5. Merasa paling berhak menjadi imam karena usianya yang lebih tua
Seseorang diangkat (dipilih) menjadi imam bukanlah karena usianya, tapi yang paling bagus lagi tartil bacaan Al-Qur’annya. Dan jika mungkin, yang paling banyak hafalannya.
Dalilnya: Dari Abu Mas’ud Al-Anshory ia berkata: Rasulullah bersabda: “Hendaklah yang menjadi imam yang pandai bacaan Al-Qurannya. Apabila mereka sama didalam kepandaiannya, hendaklah yang paling mengerti sunnah, jika mereka sama dalam pengetahuan sunnahnya, hendaknya yang paling pertama hijrahnya, jika hijrahnya bersama-sama, hendaknya yang lebih dahulu masuk Islamnya. Riwayat lain berbunyi: kemudian yang paling tua umurnya”. (HR Muslim: Kitabul Masajid wal Mawadli)
Lembaga Fatwa’Ulama Saudi Arabia berfatwa:
Pilihlah diantara mereka yang paling bagus lagi tartil bacaannya dan yang paling banyak hafalannya. (Fatawa Lajnah AdDaimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta 7/348)
Pilihlah diantara mereka yang paling bagus lagi tartil bacaannya dan yang paling banyak hafalannya. (Fatawa Lajnah AdDaimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta 7/348)
6. Tidak lancar membaca ayat Al-Qur’an dan tidak faham tajwid dan makhrojnya.
Imam hendaknya berusaha untuk mempelajari makhroj dan tajwidul Qur’an, agar bacaannya benar, dapat menambah kekhusyuan dan tidak meresahkan makmum disebabkan tidak benamya bacaan imam.
Nabi bersabda,
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an bersama-sama dengan malaikat yang mulia yang baik, dan hiasilah Al-Qur’an itu dengan suaramu”. (HR. Imam Bukhari Kitabut Tauhid)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang imam yang tidak baik bacaan ayatnya, beliau menjawab: “Hendaknya kamu berusaha menghafalkan surat-surat AlQur’an dengan tajwid dan memperhatikan makhrojnya. Aku merasa optimis -dengan izin Allah- kamu akan mampu menghafalkannya apabila ada usaha dan kesungguhan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 4/393)
7. Tidak memperhatikan jarak sutroh (batas tabir) di depannya.
Yang benar, imam hendaknya sebelum bertakbir, berdekatan dengan sutroh (tabir) didepannya. Dalilnya: Dari Sahl bin Abi Hasmah sampailah berita kepada Nabi , lalu Beliau berkata,
“Apabila salah satu diantara kamu akan melaksanakan sholat menghadap ke tabir (depan), hendaklah dekat dengan tabirnya, syetan tidaklah mampu memutus sholatnya“. (HR Abu Dawud. Al-Albani berkata: Imam Hakim menshohihkannya, Imam AdzDzahabi dan Imam Nawawi menyetujuinya)
Dalil jarak antara tempat berdiri Nabi dengan tabir depannya tiga hasta: Bilal berkata: Selanjutnya Rosululloh sholat, sedangkan jarak antara tempat beliau berdiri dengan dinding di depannya adalah tiga hasta. (HR. Imam Ahmad) Dalil jarak antara tempat sujud imam dengan dinding semisal berlalunya kambing: Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata: Antara tempat sujud Rosululloh dan tembok semisal tempat yang bisa dilalui kambing. (HR Imam Bukhori: Kitabus Sholat)
8. Tidak menghadap lurus ke arah kiblat.
Imam tidak menghadap kiblat, tetapi serong beberapa derajat ke arah kanan (ke arah utara), padahal posisi kiblat sudah benar. Yang benar imam lurus menghadap kiblat. Dari Jabir bin Abdillah ia berkata: Rosululloh apabila sholat (sunnah) di atas kendaraannya, beliau menghadap ke mana saja kendaraannya menghadap, tetapi apa bila beliau ingin menjalankan sholat wajib, beliau turun dan menghadap ke kiblat. (HR Imam Bukhori: Kitabus Sholat)
9. Tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof.
Sebelum imam bertakbirotul ihram tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof. Yang benar, sebelum bertakbirotul ihrom hendaknya imam menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof.
Dalilnya: Anas bin Malik berkata: Ketika selesai qomat, Rosululloh menghadap ke arah kami dengan wajahnya. Seraya berkata: Luruskan shofmu, rapatlah, karena aku melihatmu dari belakang punggungku. (HR Imam Bukhori Kitabul Adzan)
10. Hanya melihat shof makmum sebelum bertakbirotulihrom.
Yang benar, imam menghadap kepada makmum dan melihat shof sambil berpesan: “sawwu shufufakum (luruskan barisanmu), tarooshuu (rapatkan shofmu), suddul kholal (rapatkan yang masih renggang) dan kalimat semisalnya.
Dalilnya: Dari Anas bin Malik dari Nabi beliau berkata: “sawwuu shufufakum fa inna taswiyatash shuhuf min iqamatishsholaat (luruskan shafmu karena lurusnya shof termasuk menegakkan shalat)” (HR Bukhori Kitabul Adzan. Di dalam riwayat Bukhori yang lain, Nabi bersabda: Aqiimuu shufufakum (luruskan shofmu), tarooshshuu (rapatlah)) Didalam riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda: Haadzuu bainal manakib (rapatkan antara pundak), suddul kholal (tutuplah yang kosong).
11. Melafadzkan niat dengan bacaan usholli
Ketika akan bertakbirotul ihram imam melafadzkan niat (misal : membaca usholli …. dan seterusnya) bahkan kadang-kadang mengeraskannya. Niat itu tempatnya dihati, tidak perlu diucapkan dengan lisan, sebab ucapan yang pertama pada waktu sholat ialah takbir “Allohu Akbar” sebagaimana sabda Nabi Muhammad: Dari ‘Aisyah, dia berkata: Rosululloh memulai sholatnya dengan takbir, selanjutnya beliau membaca alhamdulillahi rabbil ‘alamin. (HR. Muslim: Kitabul Sholat) Imam Nawawi berkata: “Niat hendaknya hadir bersamaan dengan membaca takbirotul ihram”. (Sifatus Sholatin Nabi oleh Al-Albani: 85)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,
“Melafadzkan niat ketika akan bertakbirotul ihrom tidak ada contoh dari Nabi Muhammad, bahkan perbuatan itu termasuk bid’ah”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 4/202)
“Melafadzkan niat ketika akan bertakbirotul ihrom tidak ada contoh dari Nabi Muhammad, bahkan perbuatan itu termasuk bid’ah”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 4/202)
12. Berulang-ulang mengangkat kedua tangannya ketika bertakbirotul ihrom.
Yang benar mengangkat tangan ketika bertakbirotul ihram hanya sekali, sebagaimana contoh dari Nabi dan para sahabatnya.
Ibnul Qoyyim Aljauzy berkata: “Di antara macam-macam waswas yang merusak sholat ialah mengulang-ulangi sebagian kalimat, seperti ketika duduk bertahiyyat membaca at ..at ..attahi ..attahiyatu, pada waktu salam membaca as.. as ..assaa ..assalamu’al dan ketika bertakbir ak ..ak ..ak ..akbar atau semisalnya. Pengulangan itu pada dzohimya membatalkan sholat. Jika yang melakukan imam maka dia telah merusak sholat makmum. (Ighotsatu Lahfan Min Mashoyidis Syaithon 1/158)
13. Bersedekap di atas lambung kiri
Yang benar adalah bersedekap dengan meletakkan telapak tangan kanan di alas punggung tangan kiri, atau di atas pergelangan tangan kiri, atau di atas lengan tangan kiri, lalu diletakkan di atas dada, sedangkan tangan kanan kadang kala menggenggam tangan kiri dan kadangkala tidak.
Dalilnya: Dari Abu Huroirah dia berkata: Rosululloh melarang meletakkan Iangan di alas lambung ketika shalat. (HR Abu Dawud). Adapun dalil contoh bersedekap menurut sunnah: Selanjutnya Rosululloh meletakkan tangan kanannya di alas tapak tangan kiri, (atau) di alas pergelangan (langan kiri) atau di atas lengan kiri. (HR Abu Dawud Kitahus Sholal. An-Nasai Kitabul lftitah. Ibnu Hibban di dalam shohihnya (485) Al-Albani berkata: sanadnya shahih. ) Lalu beliau meletakkan dua tangannya di atas dada, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab shohihnya: 1/54.
14. Membaca AI-Fatihah terlalu cepat, menyambung ayat dengan ayat yang lain (tidak berhenti setiap ayat).
Yang benar, imam ketika membaca surat Fatihah atau surat yang lain pada waktu sholat hendaknya berhenti setiap ayat. Rosululloh memberi contoh kepada sahabatnya membaca Fatihah ayat demi ayat, membaca Bismalahir Rahmaanir Rahiim lalu berhenti, Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin lalu berhenti, Ar-Rahmaanir Rahiim lalu berhenti dan demikianlah seterusnya. demikian pula bacaan beliau untuk setiap surat, beliau berhenti setiap pangkal ayat dan tidak menyambungnya. (Lihat Sifatus Sholatin Nabi oleh Al Albani 96)
15. Membaca robbighfirli seusai membaca Fatihah.
Yang benar, Imam setelah membaca surat Fatihah dengan jahr, hendaknya membaca aamiin dengan suara keras pula. Adapun dalilnya sebagaimana point. Adapun membaca robbighfirli setelah membaca Fatihah termasuk amalan bid’ah.
16. Tidak mengucapkan ‘amin’ dengan suara keras
Yakni usai membaca Fatihah pada dua roka’at pertama sholat jahr. Yang benar: ketika Imam membaca Fatihah dengan suara keras hendaknya membaca aamiin dengan suara keras. Dalilnya: Dari Wail bin Hujr ia berkata: Rasulullah apabila selesai membaca waladh dhaaalliiin, beliau membaca aamiin dengan suara keras. (HR Abu Dawud: Kitabus Shalat dengan sanad yang shahih)
17. Memanjangkan bacaan takbir
Membaca takbir intiqol (takbir pada saat pindah gerakan shalat) dengan melantunkan suara, seperti: …aaaaallahu akbar atau …allaaaaahu akbar atau ..aaallaaaaahu akbaaaaar. Bacaan takbir yang benar ialah allaahu akbar (huruf lam jalalah dibaca dua harokat), baik pada waktu takbirotul ihram atau takbir intiqol, karena bacaan yang seharusnya dibaca pendek lalu dibaca panjang akan merubah makna.
Ibnu Hazm berkata:
“Tidak dibenarkan bagi imam memanjangkan (melanturkan) bacaan takbir, tetapi hams mempercepat. Tidak dibenarkan ketika ruku’, sujud, berdiri dan duduk kecuali harus sempuma bacaan takbimya”. (Al Muhalla: 4/151)
“Tidak dibenarkan bagi imam memanjangkan (melanturkan) bacaan takbir, tetapi hams mempercepat. Tidak dibenarkan ketika ruku’, sujud, berdiri dan duduk kecuali harus sempuma bacaan takbimya”. (Al Muhalla: 4/151)
18. Tergesa-gesa dalam setiap gerakan, sehingga hilang kekhusu’annya.
Yang benar setiap gerakan hendaknya disertai dengan tuma’ninah, karena Nabi pernah menyuruh orang agar mengulangi shalatnya ketika sholamya terlalu cepat. Beliau bersabda: “…maka apabila kamu ruku’, letakkan dua tapak tanganmu di atas dua lututmu, ulurkan punggungmu, kokohkan ruku’mu, jika kamu mengangkat kepalamu (dari ruku’) luruskan tulang rusukmu sehingga kembali tulang itu kepada persendiannya, jika kamu sujud maka kokohkan sujudmu, jika kamu mengangkat kepalamu (dari sujud) duduklah di atas pahamu yang kiri, selanjutnya kerjakan itu semua setiap ruku’ dan sujud. (HR Imam Ahmad: Musnad Al-Kufiyyin)
19. Mengusap wajah dengan tangan setelah mengucapkan salam
Yang benar, setelah salam tidak mengusap muka dengan tangannya, karena tidak ada contoh dari Nabi. Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya tentang hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab: Tidak ada tuntanannya, tetapi jika mengusap mukanya sebelum salam hukumnya makruh, karena Nabi ketika salam pada waktu sholat subuh, dahinya
kelihatan bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utamanya sebelum salam tidak mengusap mukanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/272)
kelihatan bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utamanya sebelum salam tidak mengusap mukanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/272)
20. Tidak menghadap kepada makmum setelah salam
Biasanya imam tetap menghadap kekiblat setelah salam atau menghadap ke utara (arah kanan kiblat). Yang benar, setelah salam imam boleh menghadap kiblat sebentar saja untuk istighfar 3 kali dan berdzikir seperti dzikir Nabi dibawah ini: Dari ‘Aisyah dia berkata: Nabi apabila setelah salam, beliau tidak duduk melainkan kira-kira membaca: “Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom.” (HR Muslim: Kitabul Masajid Wal Mawadli’) Syalkhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak layak bagi imam duduk setelah salam menghadap kiblat melainkan untuk beristighfar 3 kali dan membaca: “Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Timiyah 22/505)
Rosululloh apabila selesai salam, mengbadap kepada makmum, dalilnya: Kemudian beliau salam, lalu beliau menghadap ke arah kami. (HR Muslim, Kitabul Masajid wal Mawadli’) Beliau duduk lama setelah salam menghadap kepada makmum bila ada kepentingan, seperti memberi nasihat dll. Dalilnya: Dari Anas, dia berkata: Rosululloh pernah mengimami kami pada suatu hari, setelah beliau salam beliau menghadap kepada kita, lalu beliau memberi nasihat: “Wahai manusia … ” (HR Muslim Kitabus Sholat).
21. Memimpin dzikir dan membaca Fatihah bersama-sama setelah salam
Yang benar, dzikir setelah sholat diakukan sendiri-sendiri bagi yang berhajat. Lembaga Fatwa `Ulama Saudi Arabia berfatwa: “Sedangkan petunjuk Nabi bahwa beliau berdzikir dan berdo’a sendirian, beliau tidak pemah mengomando sahabatnya untuk berdzikir bersam-sama. Adapun sebagian manusia membaca Fatihah dan do’a bersama-sama dikamandoi oleh imam setelah shalat termasuk amalan bid’ah.” (Fatawa Lajnah Ad-Daimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta’ 7/122)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar